Thursday, October 14, 2010

Liburan Pada Padi yang Menguning [1]

bukan sulap bukan sihir, demi tugas kuliah akhirnya jadi juga cerita ini :D

Pohon padi tampak mesra berayun-ayun dihempas angin ketika suatu senja kala yang keemasan menemani langkah kami di pematang sawah milik kakek. Disana-sini terlihat para petani telah bergegas meninggalkan sawah mereka, hal yang persis sama dengan hari-hari kemarin. Hamparan padi yang menguning itu seakan memberi pesan, disinilah batinku ditanam.

“Dengar ko, itu jangkrik sudah ramai,” kakek memulai percakapan sambil berjalan didepan. Ya, memang jangkrik telah bersahut-sahutan, barangkali mereka sedang bergembira karena malam akan segera menghampiri mereka. “Dua minggu lagi, kita sudah bisa panen. Pasti tidak sabar ko”, lanjutnya dengan dialek yang menurutku lucu, sembari melambaikan tangan kanannya membalas salam dari orang-orang didepan sana.

“Iya nek, nanti saya juga mau ikut potong padi. Kita jalan saja ya nek sampai di rumah, mau lihat perangkap ikan, tadi pagi dipasang Yuli di kali,” kataku sambil mengajak.

“Dulu, waktu seumuran ko, bapa’mu selalu menangkap ikan sama teman-temannya di kali. Rupanya kau sama dengan bapa’mu, hehehe…” terdengar kakek mencoba mengenang masa lalu bersama Ayah dulu.

Ayahku lahir di kampung ini bersama-sama dengan 8 orang adiknya, yang seorang lagi, pamanku, meninggal ketika duduk di bangku SMK. Sebagai anak pertama, ayah lantas menjadi “tentaranya” kakek. Oh iya, kakek biasa kupanggil dengan sebutan “nek” dari “nenek”, bagiku tak ada perbedaan sebutan “kakek” dan “nenek”. Kakek adalah kepala lingkungan kampung, sebuah jabatan adat di kampungku, Toraja. Setelah dewasa, ayah merantau ke negeri seberang yang sekarang menjadi tempat kami tinggal.

Liburan kali ini membawaku pada masa kecil ayah dulu, ke tempat dimana padi sedang menguning, bukit-bukit yang tampak disana-sini, alam yang damai, dan jauh dari kebisingan kota. Sementara hari mulai gelap, kakek menunjuk pada kali,
“Dulu, kali itu jadi tempat mandinya Saleko” sambungnya sambil menggeleng kepala.

“O… kerbau kesayangan ayah?” sahutku.

“Coba kau lihat, ikan apa yang didapat itu perangkapmu” katanya sambil menelusuri kali.

Ceburrr… Suara air terpecah.

“Hahaha…” aku tertawa karena terjerumus ke dalam kali. Lantas pakaianku basah, sambil terlantah kudekati perangkap dan hasilnya : nol.

“Ai… tidak ada apa-apa nek” sahutku sambil meniru dialek yang dipakai dikampungku.

Tak seperti biasanya, hari ini tak ada ikan yang terperangkap. Jadi teringat filosofi roda. Kalau begitu tempatnya dipindahkan saja, gumamku. Sepuluh menit berlalu dan terlihat rumah kakek tampak mengeluarkan cahaya terang. Sambil menanjak, kami berusaha menggapai rumah, seakan-akan tenaga kami telah habis seharian mengelilingi persawahan.

“Itu oto masih kotor” kata kakek sambil menunjuk ke arah mobil.

“Nanti saja saya dengan Yuli yang cuci nek” kataku setengah memperdengarkan suara malas.

“Jangan ampo, besok saja baru dicuci” balasnya.

Rupanya Yuli sedang mencari kami berdua, jadinya mobil tak terurus. Nenek merupakan sosok yang menyenangkan. Hampir tiap hari kami berkeliling kampung dengan atau tanpa mobil. Tapi yang selalu kulakukan bila tak ada kakek adalah “nyantai” dibawah pohon salak. Kebun salak milik kakek tak terlalu besar tapi buahnya besar dan manis.

“Indi…” suara seorang wanita tua terdengar memanggilku.

Aku dipanggil Indi oleh orang-orang yang mengenalku, anak ke-4 dari ayahku tentunya, saat ini sedang menjalani “masa-masa senang” di sebuah perguruan tinggi prestisius di Bandung. Liburan saat ini kupergunakan dengan “sebaik-baiknya” dengan berpetualang di kampung kelahiran ayahku. Banyak tempat yang dulu sering diceritakan ayahku telah berubah wujudnya. Saleko sudah tak ada, sudah dipotong ketika pesta penguburan nenek buyutku sepuluh tahun yang lalu. Pohon mangga di sebelah rumah juga sudah tak ada, dulunya jadi tempat bermalas-malasan ayah. Tapi aku tetap suka dengan kampungku, meski pembangunan tak berjalan sesuai harapan.

“Ya nek, nanti saya kesitu” jawabku.

“ Jatuh ko ampo?” balasnya lagi.

“Tidak apa-apa, cuma basah” sahutku sambil mencoba menenangkan suanana, karena pikirku pasti kakek telah menceritakan kejadian tergelincirnya diriku pada seisi rumah.

Setelah mandi, rupa-rupanya nenek telah menunggu di ruang makan.
“Ti dak a pa a pa neeeeek” kataku sambil menghiburnya.

“Cepat ko pake’ baju, kita mau pergi ke rumahnya mama’mu” balasnya. Oh rupanya akan ke rumah nenek dari bunda.

(bersambung)

Layang-layang Patah

Di salib yang sepotong itu berayun
Pada tarian angin mengelak
tersenyum malu
sssh
sssh

Bakar saja aku...

Tuesday, October 12, 2010

Mata Pena Bola Mata

mata pena bola mata
terlukis senyum di raut wajahnya
nampak indah dalam belahan tinta

mata pena bola mata
sudah larut kumenanti
tapi tak selama yang ku bayangkan

tak ada hadirnya dalam mata pena
tak ada bayangnya dalam bola mata

kisah mata mata
kisah pena bola
bukan kisah apa-apa