Thursday, April 5, 2012

Lirik Senja (#13)

Angin membawa pandanganku pada dirinya yang tak terlalu jauh didepanku
masih kuingat ketika gerakannya yang cekatan seolah menceritakan sesuatu
disebelahnya seorang gadis cilik seusianya bergegas untuk tetap disampingnya

mereka, pembawa mimpi baru yang akan tumbuh menjadi sama seperti diriku
dikemudian hari dengan harapan yag mereka pupuk saat ini
sampai ketika waktu merenggut semua impian-impian mereka yang lugu
lalu mulai berpikir mengakali sang waktu

semakin menjauh mereka hampir saja berlari
baru aku sadari, mereka hendak ke sekolah

belajar yang rajin dek

Wednesday, April 4, 2012

Murah = Murahan (?)

Siapa yang ingin membeli suatu barang dengan harga mahal? Oh tentu saja ada, entah karena selera hidup, foya-foya, iseng saja, atau bahkan karena kerelaan hatinya. Tapi nampaknya kebanyakan orang akan memilih untuk mencari barang yang sama dengan harga lebih murah.

Pernah sesekali bersama dengan teman yang kebetulan perempuan, kami menyusuri dengan langkah pasti sebuah mall di Bandung. Putar kesana-kemari, tersadar kami telah melalui jalan yang sama hampir tiga kali. Tujuannya tiada lain mecari item yang sama, sebuah tas cewek, tetapi dengan harga yang lebih miring. Andai saja pengelola mall mengatur sedemikian rupa sehingga outlet dengan produk yang sama ditempatkan satu kompleks, andai saja karena siapa juga yang peduli dengan hal itu. Ya, mondar-mandir. Malam itu entah yang keberapa kalinya saya mengutak-atik menekan tombol-tombol handphone. Tak ada pesan masuk, panggilan, ataupun niatan untuk mengirim pesan atau menelpon. Resah mau melakukan apa dalam keadaan seperti ini. Setelah beberapa lama, akhirnya dengan wajah yang pasrah teman saya ini memberi isyarat dengan mengerutkan keningnya tanda menyerah. Sambil tersenyum, saya membayangkan kenapa orang ini rela berpeluh keliling mall hanya untuk mendapat tas dengan harga lebih rendah sebanding dengan harga satu potong roti Bread Talk.

Itu sekilas, bagaimana sebagian orang ingin mencari sesuatu dengan harga lebih murah. Tentu barangkali kita akan berpikir tentang selera, model, merek, jenis, dan juga sensasi berbelanja. Tapi yang ingin saya ceritakan adalah mengapa kita mencari yang murah?

Belum juga lekang dari benak kita, rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Ya, serangkaian teori dari berbagai pakar pula, lengkap dengan hitungan-hitungan mereka sendiri melengkapi hari-hari di penghujung Maret itu. Tentu saja tajuk utama adu argumen dan ide adalah seputar : keadilan. Sudah barang tentu ini menjadi hal menarik, setidaknya puluhan tahun silam ketika negeri ini masih bernama Hindia. Sila kelima Pancasila masih sama bunyinya sejak awal ia dilakonkan, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Saya membayangkan segelintir orang melihat ini dari sisi materi. Tidak salah, toh itu juga perwujudan idea. Tapi yang seharusnya membara, tentang keadilan kesempatan, keadilan ikut serta dalam membangun bangsa ini. Saya rasa mungkin hal tersebut sudah menjadi arang. Tidak, saya berharap masih menjadi kayu bakar yang belum juga disulut api, supaya dengan hasrat yang baru, kita benar-benar menjadi anak bangsa yang tidak hanya merasa, tapi menjadi bara keadilan ini.

Mari kita tilik beberapa kejadian yang mungkin terlupakan oleh nikmatnya menonton TV flat, komputer dengan akses internet serba cepat, serta segudang fasilitas lainnya yang tentu, sudah tentu, membuat kita terlena dan bias memandang arti keadlilan itu. Ketika harga premium bersubsidi di Jakarta dihargai Rp. 4.500, jangan heran jika dengan berat namun tulus hati mama-mama di Puncak Jaya menghargainya Rp. 50.000. Ketika mobil-mobil mewah seharga ratusan bahkan miliaran rupiah terus saja berdatangan dan berkeliaran tanpa kenal arah di Ibukota, bagaimana dengan kompor gas yang barangkali belum tentu ada di tiap rumah di Kayong Utara. Itu mugkin bukan keadilan, atau mungkin juga keadilan bagi sebagian lainnya, mungkin karena selera humor yang amburadul.

Lalu apa hubungannya dengan beli-membeli barang yang lebih murah?

Semua orang, jika tidak mau dikatakan banyak orang, perlu BBM. Langsung atau tidak langsung. Tapi yang paling melekat dalam kepala saya adalah masalah transportasi. Terlepas dari kredit atau tunai, dari uang sendiri atau uang orang lain, ketika suatu kendaran pribadi mencari-cari SPBU dengan harga premium bersubsidi, menurut saya perilakuknya sama seperti teman saya tadi, yang kebetulan perempuan. Lalu kita bertanya, apakah ini karena iseng, humor, selera rendah, atau?

Maka perlu kita tilik motivasi kita. Mencari barang yang murah bisa jadi menjadikan pribadi kita murahan. Nosce te ipsum.

Sunday, April 1, 2012

Masihkah Menjadi Sumpah?


Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Sepenggal bait dalam bahasa Indonesia dengan ejaan lama dengan lantang dibacakan oleh Soegondo dari sebuah kertas yang sebelumnya diukir oleh tinta pena M Yamin saat Mr Sunario sebagai utusan dari kepanduan (pramuka) tengah berpidato diakhir sesi Kongres Pemuda II di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. 28 Oktober 1928… 17 tahun 2 bulan dan 11 hari sebelum bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya. Dikisahkan pula dalam lembar sejarah bangsa ini, bahwa Sumpah Pemuda lahir dari rahim Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia... ya, para pelajar mas...

Kisah 81 tahun lalu itu kini muncul ke permukaan lagi. Entahkah kita, sebagai generasi yang “mereka-mereka” dulu harapkan dapat mempertahankan isi dari sumpah setia mereka itu, masih merasakan hal yang sama dengan mereka. Seorang bapak dengan pakaian yang agak kusam lantas bertanya pada bayangannya sendiri : Dimanakah para kaum terpelajar dari bangsaku ini??? Mungkin kita punya jawaban masing-masing, mungkin juga tidak sama sekali. Lalu seorang ibu didepan senayan juga bertanya pada dirinya sendiri : Apakah dari rahimku akan lahir orang-orang terpelajar???

Pemuda adalah jalan untuk persatuan bangsa... Kira-kira demikianlah uraian Yamin dalam rapat pertama PPPI. Tak muluk-muluk, ia lantas mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang bisa mempekuat persatuan bangsa Indonesia, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Dimanakah sejarah bangsa ini? Rupanya ia terkubur rapat dalam lembaran-lembaran kusam yang menunggu waktu lenyap dimakan rayap. Kemanakah bahasa itu? Ternyata ia telah pergi kawin dengan musuhnya. Dimanakah hukum adat yang menjaga? Terseok-seok ia telah dilempar jauh kedalam sumur tua. Dimanakah pendidikan bangsa ini? Rupanya ia segera akan meninggalkan pelabuhannya, entahkah kemana ia akan berlayar... ke rahim ibu tadi mungkin. Mudah-mudahan hal ini hanyalah angin lalu dalam benak bapak tadi, sekedar bertanya-tanya pada masa lalunya dulu. Lantas, masih adakah kemauan kita?

Ya, hendak kita jadikan emas permata ataukah akan menjadi pusara tak bernama dalam lembaran sejarah kita, tapi satu yang pasti : Pondasi telah diletakkan, kerangka sudah lama mulai disusun, lalu apa bagian kita? Hm... sekali lagi, pasti kita punya jawaban masing-masing.

Rupa-rupanya, lantunan merdu biola tanpa nama milik W.R Supratman memayungi janji setia mereka dulu -para “jong” dari rahim Pertiwi- membawa angan ke pulau-pulau di awan yang membiru... berharap dapat turun kembali bersama rintik-rintik gerimis dikemudian hari.

Pagi yang sunyi di negeri tercinta

Dikantong safarimu kami titipkan, masa depan kami dan negeri ini, dari Sabang sampai Merauke...
(Iwan Fals - Surat buat wakil rakyat)

Hari tampak cerah, dalam benakku tak sedikitpun terpikirkan bagaimana jadinya hari ini nantinya. Ah dasar, nasib bangsa ini bagaimana??? Tak muluk-muluk, ikut pusing pun tidak. Halaman depan koran hari ini penuh dihiasi agenda terbesar tahun ini, yah... begitulah kata orang-orang. Teringat, belum juga habis tangis diujung mata sahabat-sahabatku di ranah Minang, mungkinkah terlupakan saat ini?

Hiruk pikuk dibawah terik mentari pagi di kampus, pasar, jalan raya, dan pelabuhan seakan tak peduli dengan agenda penting itu. Toh satu kuliah pagi ternyata lebih berguna daripada menganga didepan TV sambil mengikuti “siaran langsung” dari Senayan... sekilas dalam benakku terlintas, para pemain lakon dari seluruh Nusantara sedang duduk manis mengikuti prosesi agenda itu.

Pak, tolong bapak buka lapangan kerja, pak kami butuh keamanan, pak kami melarat, dan masih banyak lagi... suara-suara yang keluar dari batin bangsaku seakan menjadi desing yang parau... sementara masih terdengar diujung telinga kita yang penghabisan, ketika “mereka” katakan : saya berjanji... saya berjanji... saya berjanji... Yah, sekarang anda telah menjadi seperti yang anda harapkan pak, aku turut bahagia. Sekarang tepati janjimu pak, tapi ingat bukan pada bangsa ini saja anda berjanji, tapi pada leluhur anda sendiri pak. Kita memang punya Gajah Mada, mahapatih yang hebat itu, dulu... dulu sekali. Hanya berlakulah seperti dia pak, itu pinta kami...

Ya, pagi ini benar-benar sunyi meski tampak rakus angkot-angkot disana menyerbu penumpang atau mungkin tampak sangat ramai saat ini di Senayan sana. Tapi tidak disini, kearifan telah diganti tegasnya keinginan untuk membela keadilan. Hakim hanya sekedar alat, tak lebih... Orang-orang dikampungku bertanya pak, pembangunan kok dijadikan jalan untuk menindas? Maaf pak jika terdengar sedikit kasar tapi begitulah kira-kira pesan rakyat anda sendiri, produk pembungkaman di negeri ini.

Saudara dipilih, bukan dilotre
Meski kami tak kenal siapa saudara

Ya pak, sehormat-hormatnya, kami pun mungkin tak tahu kesulitan bapak sendiri, pasti lebih sulit dari yang kami pikirkan, semoga diberi kemudahan dalam mengambil kebijakan untuk mengatur negeri yang 250 juta orang ini, termasuk diantaranya belasan juta anak putus sekolah serta berapa lagi juta kepala yang tak pernah tahu bahwa manusia sudah pernah menginjakkan kaki di Bulan. Tapi aku pak, putra Ganesha, gadingku sepotong yang patah itu takkan kubiarkan jatuh dan musnah. Tapi ingat juga pak, kapakku sekali-kali takkan pernah lepas dari tanganku.

Meski para gadis dipojokan perpustakaan sana tiada hentinya tertawa riang, mungkin juga sedang menggodaku, bersama sehelai kertas dihangat jariku pagi ini tetap saja sunyi...

Saturday, March 31, 2012

Romantisme Mahasiswa

Romansa seribu bayangan di angkasa antara serdadu langit dan sekumpulan bocah pengelana menghiasi malam ini. Di sudut bangunan nyaris bundar mereka duduk melingkar, membiasakan diri berlama-lama menanti jawaban dalam tanya mereka. Tak tahu pasti apa yang mereka harapkan dari keadaan itu. Tapi seakan menggema dalam benak pelintas jalan, bahwa mereka mungkin saja merencanakan sesuatu atau mungkin sekedar bertemu, tiada yang istimewa. Apakah yang tak istimewa dibawah cakrawala ini?

Kemanakah pergi para ksatria Nusantara

Hari telah senja. Diujung pandang, sang mentari serasa akan meyerah pada dentuman waktu ditengah cakrawala yang keemasan itu. Di tepi samudera ini, diatas lembutnya pasir yang takhingga banyaknya berdiri anakmu, wahai ksatria-ksatria nusantara. Sesekali kupalingkan wajah ini kebelakang, menaati panggilan sang nyiur yang perlahan melambai. Sementara ombak yang liar pun habis di ujung jemari kaki ini, tapi jauh didalam isi kepalaku yang kecil ini kucoba memahami wejangan sang guru yang berdiri tepat disampingku :
“Apakah benar bahwa tirta pawitra itu sama sekali tak pernah ada? Bahwa air suci prawitasari itu takkan pernah ditemukan oleh manusia mana pun?” Kata sang guru memulai wejangannya yang pasti akan panjang.
“Oh, betapa gundahnya diriku…” Lanjutnya. Sesaat ia terdiam dan memulai lagi dengan menarik nafas dalam-dalam :
Tak lagi bisa kucari jalan keluar dari kegundahan ini wahai sang Hyang Guru.
Apa yang kau lakukan ditempat seperti ini anakku? Hanyalah kehampaan yang akan kau temui. Sebuah sosok dalam rupa manusia berdiri tepat didepannya.
Celaka, rupanya sama dengan rupaku. Pastilah paduka seorang dewa. Wahai paduka, kiranya paduka sudi memberitahukan siapa dan untuk apa diriku ditempat ini?
Janganlah bimbang anakku, akulah Dewa Ruci, sang marbudyengrat. Sesungguhnya, tirta pawitra yang disabdakan gurumu, Durna, tak ada disini.
Jika demikian adanya, wahai sang hyang Dewa Ruci, berilah titah pada hamba ini. Telah kumusnahkan Rukmuka dan Rukmala, kedua raksasa di hutan Tikbrasara, yang dilereng gunung Reksamuka itu. Juga telah kuhancurkan sang ular dengan kuku pancanaka ini. Tapi tak sedikitpun kudapati petunjuk untuk menemukan yang kucari.
Dengarkan aku baik-baik anakku. Perhatikan tiap wejang dariku. Janganlah pergi tanpa tahu tujuan, janganlah bertindak hanya sepengetahuanmu saja. Berlakulah dengan penuh pertimbangan. Sekarang masuklah dalam tubuhku.
Ampun paduka, tapi bagaimana mungkin gunung dimasukkan dalam sebuah kendi?
Hai kawula, sang ksatria pandawa, temuilah ujung semesta ini. Jika telah sampai kau padanya, bawalah masuk seluruhnya dalam tubuhku.
Ampun ya baginda hyang Dewa Ruci, ampunilah hamba yang tak mengerti ini. Lalu masuklah ia kedalam tubuh dewa yang mungil itu melalui telinga kirinya. Sesampainya ia didalam, hanya kegundahan semata yang didapatinya.
Wahai hyang Dewa Ruci, apa gerangan maksud paduka menitahkan diriku masuk kedalam tubuh paduka? Sebab hanya kekosongan semata yang hamba rasakan.
Perhatikanlah dengan saksama anakku. Bilakah sukmamu menerangi hatimu.
Iya paduka dewa. Lalu jelaslah semua yang hendak dicari oleh Bima. Tak ingin keluar hamba dari sini paduka, sebab begitu jelas semua dihadapan hamba.
Tidak anakku, karena sesungguhnyalah kau akan menemukan dirimu yang sejati jika kau melakukannya dan tak hanya mengucapkannya. Lalu sampailah sang Dewa Ruci pada wejangannya yang penghabisan, yaitu pada pengetahuan “antara”, hidup dalam mati, mati dalam hidup.
Kemudian keluarlah Bima dengan pengertian tentang tirta pawitra, lalu kembali ke kehidupannya untuk bertarung melawan korawa pada perang Bharatayudha, perang yang penghabisan itu bersama-sama saudara-saudaranya, pandawa.
Anakku, lanjut sang guru, dulu kala dalam kisah Wayang Purwa, konon sang Bima melakoni adegan diatas. Mungkin Nusantara sedang menunggu Bima-Bima baru yang lahir dari perut ibu pertiwi. Mungkin…
.
.
Malam telah tiba, dan dalam gelap pekat dahagaku dipuaskan oleh rasa ingin tahu yang telah jelas rupanya. Bersama nafas yang terhembus diujung kata-katanya, tersirat harapannya yang mungkin telah karatan…

(beberapa informasi dan istilah didapatkan dari tulisan pak Harmiel M Soekardjo dalam Wejangan Dewa Ruci

Angin Sepoi Dari Ganesha

Waktu terasa perlahan beranjak ketika langkah yang masih kelihatan gagap beradu kuat dengan arus sang bumi. Waktu benar-benar terasa lama beranjak. Itu terjadi kurang lebih 4 tahun yang lalu. Suasana sore hari di Bandung tercinta mengisyaratkan bahwa aku bukan lah manusia satu-satunya yang mengalami kegundahan akan hari-hari esok. Dibawah terlihat beberapa pasang kaki yang kira-kira sama posisinya dengan kakiku.

Siap grak. Hahaha. Seperti anak SD saja. Mungkin benar-benar masih anak SD yang tak lagi mengenakan seragam putih merah.

Lalu malam segera menggantikan sebuah sore yang canggung itu. Pagi datang dan menghela sang malam dengan pesonanya yang anggun.

Perlahan tapi pasti, begitulah kiranya dapat kukatakan saat ini. Walau sedikit ada keraguan namun dalam lamunan, apakah yang dapat membatasiku? begitulah kupikirkan tentang hari-hari belakangan.

Aku tak sendiri. Disana ada seorang perempuan seusiaku. Langkahku hampir saja hanyut di ujung lorong ini lalu tegur sapa mengawali perbincangan yang hangat itu. Sesekali diselingi tawa kecil tentang cerita lucu dalam pengalaman masing-masing. Dia bercerita tentang dirinya yang baru saja diputuskan pacarnya. Aku ceritakan padanya tentang nilai salah satu kuliahku yang menebar pesona dengan indeks D. Lalu kami terdiam sejenak. Ketika kembali dari dalam lamunan, ia katakan padaku bahwa ia senang bisa mengenalku. Bagiku, mengetahui ia baik-baik saja sudah cukup bagiku. Sepertinya ada yang kurang, aku ternyata berharap pada dirinya. Berharap agar impiannya menjadi kenyataan, agar dirinya bisa menjadi sebuah lilin yang terus menyala dalam kegelapan atau pun dalam terang.

Langkah demi langkah lalu aku pun melupakan dirinya. Sebenarnya tak juga begitu, hanya saja aku tak mengingatnya terus dalam hariku. Rupanya tak hanya dia. Bergegas satu, dua, tiga sampai ribuan manusia kutemui dan terjadi juga percakapan yang rupanya sangat berharga bagiku. Teringat pula jargon-jargon yang selalu kami teriakkan, tentang diri kami yang berharap akan berguna kelak bagi rakyat kami. Juga impian muluk-muluk kami yang selintas terdengar kaku oleh derasnya hujan di hari-hari itu. Kini kami dapat mengakali sang waktu. Bertempur dengan ego dan idealisme.

Lalu dalam kurun waktu 4 tahun itu, kini sejenak memoriku kembali terbentuk dengan sendirinya dengan struktur yang acak-acakan. Dari mana aku mulai? Mungkin sudah dimulai. Dalam lorong kenangan, kita punya cerita masing-masing yang dahsyat untuk diceritakan. Tapi kita semua punya satu cerita yang sama ketika suatu saat nanti, entah besok atau nanti, cerita yang mengangkat kita pada martabat kita sebagai manusia sejati... Jangan lupakan Plaza Widya Nusantara kawan-kawanku.

Bandung, 14 Juli 2011
Didedikasikan buat para Julius dan Juliawati 2011

Lirk Senja (#12)

Sawah yang sebentar lagi akan menguning
disana harapan akan hari depan dipasak dalam kesungguhan

Sawah yang sebentar lagi akan menguning
"untuk anak-anakku kelak," mereka bersenandung dengan diri sendiri

Sawah yang sebentar lagi akan menguning
mengingatkan akan hari-hari kemarin yang penuh senyuman

Sawah yang sebentar lagi akan menguning
"hiasi batin anak-anakku," mereka bersenandung dengan diri sendiri

Sondang di Meja Makan

Maka benarlah perkataan Pram,
"Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana."

Bagi kebanyakan orang yang menyaksikan siaran TV nasional, Sondang mungkin bukan siapa-siapa, bukan kenalan ataupun keluarga. Tapi seminggu belakangan namanya menjadi heboh. Dia bahkan menjadi buah bibir perselisihan dalam makan malam keluarga-keluarga di Indonesia.

"Loh pa, dia kan masih muda, masih punya masa depan apalagi dia sebentar lagi akan lulus jadi Sarjana Hukum, hebat kan pa?"

"Iya, tapi perbuatan dia itu salah. Dari sisi agama dan nilai moral kan ndak nyambung apa yang telah dilakukannya."

"Iya pa, tapi kan tujuan dia bukan untuk mempermasalahkan agama dan lainnya. Kan dia aktivis anti korupsi, mungkin saja dia berbuat begitu karena sudah lelah dengan perilaku birokrasi dan pemerintahan negeri ini."

"Aku rasa bukan begitu kak, dari yang saya tau, dia orangnya bukan anarkis kok. Bahkan katanya dia selalu mengingatkan teman-temannya untuk tidak bertindak anarkis. Mungkin dia ingin menghimpun suara kemanusiaan yang sudah mati di negeri ini, aku rasa seperti itu hehe."

"Ma, ikannya nambah. Papa harap kalian tidak melakukan seperti yang dia lakukan. Kalian insan akademis, udah pada kuliah dan mengerti masalah negeri ini. Kalian banyak-banyak berdoa, supaya hidup kalian akan lebih baik."

Adegan sebuah keluarga di meja makan diatas mengingatkan saya pada sebuah scene film Hotel Rwanda, sebuah film yang diangkat dari cerita dan kisah nyata Paul Rusesabagina  yang mengambil latar genosida di Rwanda pada pertengahan tahun 1994. Dalam scene tersebut, Jack Daglish, seorang reporter yang sedikit mabuk berkata pada Paul, kira2 begini :
"They will say oh my god, that's horrible... and then go on eating their dinners..."

Sondang sudah pergi, namun namanya masih juga tetap ada di meja makan
Sondang sudah pergi, namun tikus-tikus tak juga pergi dari kolong meja makan
Sondang sudah pergi ke tempat sahabatnya Pram, dan kemanusiaan kita dipertanyakan

Friday, March 30, 2012

Buku : Bumi Manusia (Pramoedya A. Toer)

Rabindranath Tagore

Mata Pena Bola Mata

mata pena bola mata
terlukis senyum di raut wajahnya
nampak indah dalam belahan tinta

mata pena bola mata
sudah larut kumenanti
tapi tak selama yang ku bayangkan

tak ada hadirnya dalam mata pena
tak ada bayangnya dalam bola mata

kisah mata mata
kisah pena bola
bukan kisah apa-apa