Friday, January 21, 2011

Cerita Untukmu di Penghujung Mimpi

Ada yang berteriak tapi tak didengar, ada yang bertanya tapi tak mendapatkan jawaban, tetapi sesungguhnya bukan kesia-siaanlah bagian mereka
Hari ini 31 Desember 2029. Malam belum terlalu larut, ketika kuperhatikan jam di tanganku ternyata baru pukul 21.26, sementara kedua matamu tertutup rapat dan wajahmu tiada hentinya menyita perhatianku. Anak kecil yang lugu, gumamku. Tahukah kau nak apa yang kupikirkan saat ini? Ah lebih baik kau tak usah tahu karena suatu saat nanti kau pasti akan tahu kecemasanku, kecemasan pria tua tentang masa depanmu kelak. Tidurlah nak... akan kusampaikan pesan sang Dewa Ruci dalam mimpimu.
Petasan dan kembang api telah meluncur ke angkasa, menentang langit diujung penghabisannya di tahun ini. Kejadian yang hampir serupa 20 tahun silam. Tahukah kau nak, betapa indahnya masa mudaku dulu? Ah pasti kau tak tahu. Indahnya ketika pertamakali Tuhan mempertemukan aku dan ibumu di suatu senja di kota Bandung. Tapi kau, anakku, apa kiranya rencana Tuhan tentang dirimu? Haruskah kutanyakan sendiri padaNya? Mungkin inilah bagian yang sulit karena tak mudah memperoleh jawaban dari sana.
Belum kuceritakan padamu kecemasan dunia pada masaku dulu. Janganlah dulu kau terbangun karena petasan itu nak, masih ingin kusampaikan pesan leluhurmu. Para saudagar disana depresi karena kehilangan berjuta-juta dolar harta mereka, tapi siapakah yang peduli dengan jeritan makhluk kecil kurus yang tak lain adalah anak-anak kecil yang dikatakan orang gelandangan itu? Ah mestinya tak kutanyakan hal ini padamu. Sawah milik eyangmu kini entah dimana letaknya, telah digantikan mereka bulir-bulir padi dengan beton-beton rumah. Keadaan dulu sangat jauh berbeda dengan sekarang nak. Mungkin dulu kami masih bisa tidur tanpa dimanjakan pendingin ruangan, tapi kini untuk menikmati sejuknya udara segar dibawah mataharipun kita tak bisa karena panas akibat efek rumah kaca.
Mungkin zaman telah berubah, memang telah berubah. Ingin rasanya ayahmu ini berbalik ke 20 tahun silam dan berteriak pada diri sendiri, kawan-kawan, keluarga, pemerintah, bahkan pada orang yang tak kukenal hanya untuk tak sembarang membuang sampah, untuk tak menggunakan AC berlebihan, tapi kini apalah dayaku nak.
Inilah surat dari ayahmu untuk dirinya di 20 tahun silam. Kisah hidupku, kelak akan kuceritakan padamu. Bukan untuk mendiktemu, lakukanlah apa yang dibisikkan nuranimu, tapi kisah pria tua ini akan selalu menyertaimu di zaman yang penuh jeritan ini nak...

No comments:

Post a Comment