Wednesday, April 4, 2012

Murah = Murahan (?)

Siapa yang ingin membeli suatu barang dengan harga mahal? Oh tentu saja ada, entah karena selera hidup, foya-foya, iseng saja, atau bahkan karena kerelaan hatinya. Tapi nampaknya kebanyakan orang akan memilih untuk mencari barang yang sama dengan harga lebih murah.

Pernah sesekali bersama dengan teman yang kebetulan perempuan, kami menyusuri dengan langkah pasti sebuah mall di Bandung. Putar kesana-kemari, tersadar kami telah melalui jalan yang sama hampir tiga kali. Tujuannya tiada lain mecari item yang sama, sebuah tas cewek, tetapi dengan harga yang lebih miring. Andai saja pengelola mall mengatur sedemikian rupa sehingga outlet dengan produk yang sama ditempatkan satu kompleks, andai saja karena siapa juga yang peduli dengan hal itu. Ya, mondar-mandir. Malam itu entah yang keberapa kalinya saya mengutak-atik menekan tombol-tombol handphone. Tak ada pesan masuk, panggilan, ataupun niatan untuk mengirim pesan atau menelpon. Resah mau melakukan apa dalam keadaan seperti ini. Setelah beberapa lama, akhirnya dengan wajah yang pasrah teman saya ini memberi isyarat dengan mengerutkan keningnya tanda menyerah. Sambil tersenyum, saya membayangkan kenapa orang ini rela berpeluh keliling mall hanya untuk mendapat tas dengan harga lebih rendah sebanding dengan harga satu potong roti Bread Talk.

Itu sekilas, bagaimana sebagian orang ingin mencari sesuatu dengan harga lebih murah. Tentu barangkali kita akan berpikir tentang selera, model, merek, jenis, dan juga sensasi berbelanja. Tapi yang ingin saya ceritakan adalah mengapa kita mencari yang murah?

Belum juga lekang dari benak kita, rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Ya, serangkaian teori dari berbagai pakar pula, lengkap dengan hitungan-hitungan mereka sendiri melengkapi hari-hari di penghujung Maret itu. Tentu saja tajuk utama adu argumen dan ide adalah seputar : keadilan. Sudah barang tentu ini menjadi hal menarik, setidaknya puluhan tahun silam ketika negeri ini masih bernama Hindia. Sila kelima Pancasila masih sama bunyinya sejak awal ia dilakonkan, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Saya membayangkan segelintir orang melihat ini dari sisi materi. Tidak salah, toh itu juga perwujudan idea. Tapi yang seharusnya membara, tentang keadilan kesempatan, keadilan ikut serta dalam membangun bangsa ini. Saya rasa mungkin hal tersebut sudah menjadi arang. Tidak, saya berharap masih menjadi kayu bakar yang belum juga disulut api, supaya dengan hasrat yang baru, kita benar-benar menjadi anak bangsa yang tidak hanya merasa, tapi menjadi bara keadilan ini.

Mari kita tilik beberapa kejadian yang mungkin terlupakan oleh nikmatnya menonton TV flat, komputer dengan akses internet serba cepat, serta segudang fasilitas lainnya yang tentu, sudah tentu, membuat kita terlena dan bias memandang arti keadlilan itu. Ketika harga premium bersubsidi di Jakarta dihargai Rp. 4.500, jangan heran jika dengan berat namun tulus hati mama-mama di Puncak Jaya menghargainya Rp. 50.000. Ketika mobil-mobil mewah seharga ratusan bahkan miliaran rupiah terus saja berdatangan dan berkeliaran tanpa kenal arah di Ibukota, bagaimana dengan kompor gas yang barangkali belum tentu ada di tiap rumah di Kayong Utara. Itu mugkin bukan keadilan, atau mungkin juga keadilan bagi sebagian lainnya, mungkin karena selera humor yang amburadul.

Lalu apa hubungannya dengan beli-membeli barang yang lebih murah?

Semua orang, jika tidak mau dikatakan banyak orang, perlu BBM. Langsung atau tidak langsung. Tapi yang paling melekat dalam kepala saya adalah masalah transportasi. Terlepas dari kredit atau tunai, dari uang sendiri atau uang orang lain, ketika suatu kendaran pribadi mencari-cari SPBU dengan harga premium bersubsidi, menurut saya perilakuknya sama seperti teman saya tadi, yang kebetulan perempuan. Lalu kita bertanya, apakah ini karena iseng, humor, selera rendah, atau?

Maka perlu kita tilik motivasi kita. Mencari barang yang murah bisa jadi menjadikan pribadi kita murahan. Nosce te ipsum.

No comments:

Post a Comment