Dikantong safarimu kami titipkan, masa depan kami
dan negeri ini, dari Sabang sampai Merauke...
(Iwan Fals - Surat buat wakil rakyat)
Hari
tampak cerah, dalam benakku tak sedikitpun terpikirkan bagaimana jadinya hari
ini nantinya. Ah dasar, nasib bangsa ini bagaimana??? Tak muluk-muluk, ikut
pusing pun tidak. Halaman depan koran hari ini penuh dihiasi agenda terbesar
tahun ini, yah... begitulah kata orang-orang. Teringat, belum juga habis tangis
diujung mata sahabat-sahabatku di ranah Minang, mungkinkah terlupakan saat ini?
Hiruk
pikuk dibawah terik mentari pagi di kampus, pasar, jalan raya, dan pelabuhan seakan
tak peduli dengan agenda penting itu. Toh satu kuliah pagi ternyata lebih
berguna daripada menganga didepan TV sambil mengikuti “siaran langsung” dari Senayan...
sekilas dalam benakku terlintas, para pemain lakon dari seluruh Nusantara
sedang duduk manis mengikuti prosesi agenda itu.
Pak,
tolong bapak buka lapangan kerja, pak kami butuh keamanan, pak kami melarat,
dan masih banyak lagi... suara-suara yang keluar dari batin bangsaku seakan
menjadi desing yang parau... sementara masih terdengar diujung telinga kita
yang penghabisan, ketika “mereka” katakan : saya berjanji... saya berjanji...
saya berjanji... Yah, sekarang anda telah menjadi seperti yang anda harapkan
pak, aku turut bahagia. Sekarang tepati janjimu pak, tapi ingat bukan pada
bangsa ini saja anda berjanji, tapi pada leluhur anda sendiri pak. Kita memang
punya Gajah Mada, mahapatih yang hebat itu, dulu... dulu sekali. Hanya
berlakulah seperti dia pak, itu pinta kami...
Ya,
pagi ini benar-benar sunyi meski tampak rakus angkot-angkot disana menyerbu
penumpang atau mungkin tampak sangat ramai saat ini di Senayan sana. Tapi tidak
disini, kearifan telah diganti tegasnya keinginan untuk membela keadilan. Hakim
hanya sekedar alat, tak lebih... Orang-orang dikampungku bertanya pak,
pembangunan kok dijadikan jalan untuk menindas? Maaf pak jika terdengar sedikit
kasar tapi begitulah kira-kira pesan rakyat anda sendiri, produk pembungkaman
di negeri ini.
Saudara dipilih, bukan dilotre
Meski kami tak kenal siapa saudara
Ya
pak, sehormat-hormatnya, kami pun mungkin tak tahu kesulitan bapak sendiri,
pasti lebih sulit dari yang kami pikirkan, semoga diberi kemudahan dalam
mengambil kebijakan untuk mengatur negeri yang 250 juta orang ini, termasuk
diantaranya belasan juta anak putus sekolah serta berapa lagi juta kepala yang tak
pernah tahu bahwa manusia sudah pernah menginjakkan kaki di Bulan. Tapi aku
pak, putra Ganesha, gadingku sepotong yang patah itu takkan kubiarkan jatuh dan
musnah. Tapi ingat juga pak, kapakku sekali-kali takkan pernah lepas dari
tanganku.
Meski
para gadis dipojokan perpustakaan sana tiada hentinya tertawa riang, mungkin
juga sedang menggodaku, bersama sehelai kertas dihangat jariku pagi ini tetap
saja sunyi...
No comments:
Post a Comment