Sunday, April 1, 2012

Pagi yang sunyi di negeri tercinta

Dikantong safarimu kami titipkan, masa depan kami dan negeri ini, dari Sabang sampai Merauke...
(Iwan Fals - Surat buat wakil rakyat)

Hari tampak cerah, dalam benakku tak sedikitpun terpikirkan bagaimana jadinya hari ini nantinya. Ah dasar, nasib bangsa ini bagaimana??? Tak muluk-muluk, ikut pusing pun tidak. Halaman depan koran hari ini penuh dihiasi agenda terbesar tahun ini, yah... begitulah kata orang-orang. Teringat, belum juga habis tangis diujung mata sahabat-sahabatku di ranah Minang, mungkinkah terlupakan saat ini?

Hiruk pikuk dibawah terik mentari pagi di kampus, pasar, jalan raya, dan pelabuhan seakan tak peduli dengan agenda penting itu. Toh satu kuliah pagi ternyata lebih berguna daripada menganga didepan TV sambil mengikuti “siaran langsung” dari Senayan... sekilas dalam benakku terlintas, para pemain lakon dari seluruh Nusantara sedang duduk manis mengikuti prosesi agenda itu.

Pak, tolong bapak buka lapangan kerja, pak kami butuh keamanan, pak kami melarat, dan masih banyak lagi... suara-suara yang keluar dari batin bangsaku seakan menjadi desing yang parau... sementara masih terdengar diujung telinga kita yang penghabisan, ketika “mereka” katakan : saya berjanji... saya berjanji... saya berjanji... Yah, sekarang anda telah menjadi seperti yang anda harapkan pak, aku turut bahagia. Sekarang tepati janjimu pak, tapi ingat bukan pada bangsa ini saja anda berjanji, tapi pada leluhur anda sendiri pak. Kita memang punya Gajah Mada, mahapatih yang hebat itu, dulu... dulu sekali. Hanya berlakulah seperti dia pak, itu pinta kami...

Ya, pagi ini benar-benar sunyi meski tampak rakus angkot-angkot disana menyerbu penumpang atau mungkin tampak sangat ramai saat ini di Senayan sana. Tapi tidak disini, kearifan telah diganti tegasnya keinginan untuk membela keadilan. Hakim hanya sekedar alat, tak lebih... Orang-orang dikampungku bertanya pak, pembangunan kok dijadikan jalan untuk menindas? Maaf pak jika terdengar sedikit kasar tapi begitulah kira-kira pesan rakyat anda sendiri, produk pembungkaman di negeri ini.

Saudara dipilih, bukan dilotre
Meski kami tak kenal siapa saudara

Ya pak, sehormat-hormatnya, kami pun mungkin tak tahu kesulitan bapak sendiri, pasti lebih sulit dari yang kami pikirkan, semoga diberi kemudahan dalam mengambil kebijakan untuk mengatur negeri yang 250 juta orang ini, termasuk diantaranya belasan juta anak putus sekolah serta berapa lagi juta kepala yang tak pernah tahu bahwa manusia sudah pernah menginjakkan kaki di Bulan. Tapi aku pak, putra Ganesha, gadingku sepotong yang patah itu takkan kubiarkan jatuh dan musnah. Tapi ingat juga pak, kapakku sekali-kali takkan pernah lepas dari tanganku.

Meski para gadis dipojokan perpustakaan sana tiada hentinya tertawa riang, mungkin juga sedang menggodaku, bersama sehelai kertas dihangat jariku pagi ini tetap saja sunyi...

No comments:

Post a Comment