Saturday, March 31, 2012

Kemanakah pergi para ksatria Nusantara

Hari telah senja. Diujung pandang, sang mentari serasa akan meyerah pada dentuman waktu ditengah cakrawala yang keemasan itu. Di tepi samudera ini, diatas lembutnya pasir yang takhingga banyaknya berdiri anakmu, wahai ksatria-ksatria nusantara. Sesekali kupalingkan wajah ini kebelakang, menaati panggilan sang nyiur yang perlahan melambai. Sementara ombak yang liar pun habis di ujung jemari kaki ini, tapi jauh didalam isi kepalaku yang kecil ini kucoba memahami wejangan sang guru yang berdiri tepat disampingku :
“Apakah benar bahwa tirta pawitra itu sama sekali tak pernah ada? Bahwa air suci prawitasari itu takkan pernah ditemukan oleh manusia mana pun?” Kata sang guru memulai wejangannya yang pasti akan panjang.
“Oh, betapa gundahnya diriku…” Lanjutnya. Sesaat ia terdiam dan memulai lagi dengan menarik nafas dalam-dalam :
Tak lagi bisa kucari jalan keluar dari kegundahan ini wahai sang Hyang Guru.
Apa yang kau lakukan ditempat seperti ini anakku? Hanyalah kehampaan yang akan kau temui. Sebuah sosok dalam rupa manusia berdiri tepat didepannya.
Celaka, rupanya sama dengan rupaku. Pastilah paduka seorang dewa. Wahai paduka, kiranya paduka sudi memberitahukan siapa dan untuk apa diriku ditempat ini?
Janganlah bimbang anakku, akulah Dewa Ruci, sang marbudyengrat. Sesungguhnya, tirta pawitra yang disabdakan gurumu, Durna, tak ada disini.
Jika demikian adanya, wahai sang hyang Dewa Ruci, berilah titah pada hamba ini. Telah kumusnahkan Rukmuka dan Rukmala, kedua raksasa di hutan Tikbrasara, yang dilereng gunung Reksamuka itu. Juga telah kuhancurkan sang ular dengan kuku pancanaka ini. Tapi tak sedikitpun kudapati petunjuk untuk menemukan yang kucari.
Dengarkan aku baik-baik anakku. Perhatikan tiap wejang dariku. Janganlah pergi tanpa tahu tujuan, janganlah bertindak hanya sepengetahuanmu saja. Berlakulah dengan penuh pertimbangan. Sekarang masuklah dalam tubuhku.
Ampun paduka, tapi bagaimana mungkin gunung dimasukkan dalam sebuah kendi?
Hai kawula, sang ksatria pandawa, temuilah ujung semesta ini. Jika telah sampai kau padanya, bawalah masuk seluruhnya dalam tubuhku.
Ampun ya baginda hyang Dewa Ruci, ampunilah hamba yang tak mengerti ini. Lalu masuklah ia kedalam tubuh dewa yang mungil itu melalui telinga kirinya. Sesampainya ia didalam, hanya kegundahan semata yang didapatinya.
Wahai hyang Dewa Ruci, apa gerangan maksud paduka menitahkan diriku masuk kedalam tubuh paduka? Sebab hanya kekosongan semata yang hamba rasakan.
Perhatikanlah dengan saksama anakku. Bilakah sukmamu menerangi hatimu.
Iya paduka dewa. Lalu jelaslah semua yang hendak dicari oleh Bima. Tak ingin keluar hamba dari sini paduka, sebab begitu jelas semua dihadapan hamba.
Tidak anakku, karena sesungguhnyalah kau akan menemukan dirimu yang sejati jika kau melakukannya dan tak hanya mengucapkannya. Lalu sampailah sang Dewa Ruci pada wejangannya yang penghabisan, yaitu pada pengetahuan “antara”, hidup dalam mati, mati dalam hidup.
Kemudian keluarlah Bima dengan pengertian tentang tirta pawitra, lalu kembali ke kehidupannya untuk bertarung melawan korawa pada perang Bharatayudha, perang yang penghabisan itu bersama-sama saudara-saudaranya, pandawa.
Anakku, lanjut sang guru, dulu kala dalam kisah Wayang Purwa, konon sang Bima melakoni adegan diatas. Mungkin Nusantara sedang menunggu Bima-Bima baru yang lahir dari perut ibu pertiwi. Mungkin…
.
.
Malam telah tiba, dan dalam gelap pekat dahagaku dipuaskan oleh rasa ingin tahu yang telah jelas rupanya. Bersama nafas yang terhembus diujung kata-katanya, tersirat harapannya yang mungkin telah karatan…

(beberapa informasi dan istilah didapatkan dari tulisan pak Harmiel M Soekardjo dalam Wejangan Dewa Ruci

No comments:

Post a Comment