Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Sepenggal bait dalam bahasa Indonesia dengan ejaan lama
dengan lantang dibacakan oleh Soegondo dari sebuah kertas yang sebelumnya
diukir oleh tinta pena M Yamin saat Mr Sunario sebagai utusan dari kepanduan
(pramuka) tengah berpidato diakhir sesi Kongres Pemuda II di gedung Indonesische
Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. 28 Oktober 1928… 17 tahun 2
bulan dan 11 hari sebelum bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya. Dikisahkan
pula dalam lembar sejarah bangsa ini, bahwa Sumpah Pemuda lahir dari rahim
Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia... ya, para pelajar mas...
Kisah 81 tahun lalu itu kini muncul ke permukaan lagi.
Entahkah kita, sebagai generasi yang “mereka-mereka” dulu harapkan dapat
mempertahankan isi dari sumpah setia mereka itu, masih merasakan hal yang sama
dengan mereka. Seorang bapak dengan pakaian yang agak kusam lantas bertanya
pada bayangannya sendiri : Dimanakah para kaum terpelajar dari bangsaku ini???
Mungkin kita punya jawaban masing-masing, mungkin juga tidak sama sekali. Lalu
seorang ibu didepan senayan juga bertanya pada dirinya sendiri : Apakah dari
rahimku akan lahir orang-orang terpelajar???
Pemuda adalah jalan untuk persatuan bangsa... Kira-kira
demikianlah uraian Yamin dalam rapat pertama PPPI. Tak muluk-muluk, ia lantas
mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang bisa mempekuat persatuan bangsa
Indonesia, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Dimanakah
sejarah bangsa ini? Rupanya ia terkubur rapat dalam lembaran-lembaran kusam
yang menunggu waktu lenyap dimakan rayap. Kemanakah bahasa itu? Ternyata ia
telah pergi kawin dengan musuhnya. Dimanakah hukum adat yang menjaga?
Terseok-seok ia telah dilempar jauh kedalam sumur tua. Dimanakah pendidikan
bangsa ini? Rupanya ia segera akan meninggalkan pelabuhannya, entahkah kemana
ia akan berlayar... ke rahim ibu tadi mungkin. Mudah-mudahan hal ini hanyalah
angin lalu dalam benak bapak tadi, sekedar bertanya-tanya pada masa lalunya
dulu. Lantas, masih adakah kemauan kita?
Ya, hendak kita jadikan emas permata ataukah akan menjadi
pusara tak bernama dalam lembaran sejarah kita, tapi satu yang pasti : Pondasi
telah diletakkan, kerangka sudah lama mulai disusun, lalu apa bagian kita? Hm...
sekali lagi, pasti kita punya jawaban masing-masing.
Rupa-rupanya, lantunan merdu biola tanpa nama milik W.R
Supratman memayungi janji setia mereka dulu -para “jong” dari rahim Pertiwi-
membawa angan ke pulau-pulau di awan yang membiru... berharap dapat turun
kembali bersama rintik-rintik gerimis dikemudian hari.
Ah, nasionalisme...
ReplyDeletetak ada yang bisa menduga,
apa lagi yang akan terjadi nanti...
:)
mungkin saja akan menumpang di gerimis suatu saat nanti, ya mungkin saja.
Delete