Sunday, April 1, 2012

Masihkah Menjadi Sumpah?


Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Sepenggal bait dalam bahasa Indonesia dengan ejaan lama dengan lantang dibacakan oleh Soegondo dari sebuah kertas yang sebelumnya diukir oleh tinta pena M Yamin saat Mr Sunario sebagai utusan dari kepanduan (pramuka) tengah berpidato diakhir sesi Kongres Pemuda II di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta. 28 Oktober 1928… 17 tahun 2 bulan dan 11 hari sebelum bangsa ini memproklamirkan kemerdekaannya. Dikisahkan pula dalam lembar sejarah bangsa ini, bahwa Sumpah Pemuda lahir dari rahim Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia... ya, para pelajar mas...

Kisah 81 tahun lalu itu kini muncul ke permukaan lagi. Entahkah kita, sebagai generasi yang “mereka-mereka” dulu harapkan dapat mempertahankan isi dari sumpah setia mereka itu, masih merasakan hal yang sama dengan mereka. Seorang bapak dengan pakaian yang agak kusam lantas bertanya pada bayangannya sendiri : Dimanakah para kaum terpelajar dari bangsaku ini??? Mungkin kita punya jawaban masing-masing, mungkin juga tidak sama sekali. Lalu seorang ibu didepan senayan juga bertanya pada dirinya sendiri : Apakah dari rahimku akan lahir orang-orang terpelajar???

Pemuda adalah jalan untuk persatuan bangsa... Kira-kira demikianlah uraian Yamin dalam rapat pertama PPPI. Tak muluk-muluk, ia lantas mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang bisa mempekuat persatuan bangsa Indonesia, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Dimanakah sejarah bangsa ini? Rupanya ia terkubur rapat dalam lembaran-lembaran kusam yang menunggu waktu lenyap dimakan rayap. Kemanakah bahasa itu? Ternyata ia telah pergi kawin dengan musuhnya. Dimanakah hukum adat yang menjaga? Terseok-seok ia telah dilempar jauh kedalam sumur tua. Dimanakah pendidikan bangsa ini? Rupanya ia segera akan meninggalkan pelabuhannya, entahkah kemana ia akan berlayar... ke rahim ibu tadi mungkin. Mudah-mudahan hal ini hanyalah angin lalu dalam benak bapak tadi, sekedar bertanya-tanya pada masa lalunya dulu. Lantas, masih adakah kemauan kita?

Ya, hendak kita jadikan emas permata ataukah akan menjadi pusara tak bernama dalam lembaran sejarah kita, tapi satu yang pasti : Pondasi telah diletakkan, kerangka sudah lama mulai disusun, lalu apa bagian kita? Hm... sekali lagi, pasti kita punya jawaban masing-masing.

Rupa-rupanya, lantunan merdu biola tanpa nama milik W.R Supratman memayungi janji setia mereka dulu -para “jong” dari rahim Pertiwi- membawa angan ke pulau-pulau di awan yang membiru... berharap dapat turun kembali bersama rintik-rintik gerimis dikemudian hari.

2 comments:

  1. Ah, nasionalisme...
    tak ada yang bisa menduga,
    apa lagi yang akan terjadi nanti...
    :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. mungkin saja akan menumpang di gerimis suatu saat nanti, ya mungkin saja.

      Delete